STT Amanat Agung Repository

Gereja yang Meremaja: Upaya Menjadi Gereja yang Inklusif bagi Kaum Muda

Show simple item record

dc.contributor.author Astri Sinaga
dc.date.accessioned 2024-11-14T05:09:09Z
dc.date.available 2024-11-14T05:09:09Z
dc.date.issued 2024-08
dc.identifier.isbn 978-623-98922-9-6
dc.identifier.uri https://repository.sttaa.ac.id/xmlui/handle/123456789/703
dc.description Salah satu jeritan gereja-gereja tradisional di Indonesia—termasuk gereja-gereja Injili—adalah mereka secara perlahan tetapi pasti ditinggalkan oleh kaum muda. Umumnya, setelah melewati masa remaja dan memasuki usia dewasa muda, kaum muda tidak lagi beribadah ataupun terlibat dalam kehidupan berjemaat di gereja lokal. Menghadapi kenyataan ini, gereja- gereja tradisional Injili di Indonesia berusaha untuk menjadikan gereja sebagai tempat yang terbuka bagi kaum muda. Mereka ingin kaum muda tidak meninggalkan gereja melainkan tetap ada bersama untuk melalui masa muda sampai kemudian meneruskan kehidupan jemaat di gereja yang sama ketika sudah dewasa. Salah satu upaya untuk mengakomodasi kaum muda adalah dengan mengubah model ibadah; yang tadinya bersifat tradisional menggunakan lagu-lagu himne dan memiliki aturan yang ketat, menjadi lebih modern, menggunakan lagu-lagu rohani kontemporer dan suasana yang lebih cair dan kasual. Fenomena ini tampaknya akan terus berlanjut melihat kenyataan bahwa kaum muda cenderung menyukai pengalaman ibadah yang demikian. Akan tetapi, apakah mengubah gaya ibadah menjadi “muda” dan “populer” adalah solusi yang paling tepat untuk menjadikan gereja tradisional Injili menjadi gereja yang inklusif bagi kaum muda? Betulkah cara ini menjawab masalah hilangnya kaum muda? Tentu butuh penelitian mendalam untuk menjawabnya, dan artikel ini tidak punya ruang yang cukup untuk itu. Artikel ini hanya akan memberikan deskripsi dan analisis yang dapat menjadi pertimbangan bagi gereja-gereja tradisional Injili yang ingin memilih cara ini dalam upaya mempertahankan kaum mudanya tetap ada di gereja. Bagi gereja-gereja yang sudah dan sedang mengembangkan ibadah kontemporer, tulisan ini juga dapat memberikan pertimbangan- pertimbangan dalam mengevaluasi apa yang seharusnya dilakukan untuk menjadi gereja yang inklusif bagi kaum muda. Untuk tujuan di atas, ada tiga hal yang akan dibahas dalam tulisan ini. Pertama, saya akan menggambarkan tentang terpisahnya kaum muda dari dari gereja. Kedua, saya akan menceritakan kembali hasil dari focus group discussion (FGD) yang dilakukan terhadap pemimpin-pemimpin dari delapan gereja tradisional Injili yang telah mengubah ibadah mereka menjadi kontemporer. Deskripsi ini akan memberikan gambaran tentang kondisi kaum muda sebelum mereka beralih ke ibadah kontemporer, motif dan pergumulan yang dihadapi, serta pemikiran yang muncul setelah perubahan terjadi. Ketiga, saya akan menyajikan berbagai informasi dan analisis tentang gereja yang meremaja, yang fenomenanya sudah dibahas lebih dari satu dekade. Pada bagian akhir saya akan memberikan refleksi dan catatan hal-hal yang perlu diperhatikan bila ingin menjadi gereja yang inklusif bagi kaum muda. en_US
dc.language.iso Indonesia en_US
dc.publisher STT Amanat Agung en_US
dc.relation.ispartofseries Gereja bagi Semua;123-138
dc.subject Gereja en_US
dc.subject Inklusif en_US
dc.subject Kaum Muda en_US
dc.title Gereja yang Meremaja: Upaya Menjadi Gereja yang Inklusif bagi Kaum Muda en_US
dc.type Book chapter en_US


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

  • Bab Buku
    Bab buku karya civitas academica STT Amanat Agung (Book chapters by STTAA community)

Show simple item record

Search DSpace


Advanced Search

Browse

My Account